Perjanjian-perjanjian yang dibuat dalam proses pengambilan kredit

“Indonesia negeri yang kaya, tetapi banyak sertifikatnya yang sekolah”

begitulah bunyi status fb seorang teman, bikin senyum2 sendiri mengingat kebenarannya.

Ya, memang banyak masyarakat yang memanfaatkan fasilitas kredit yang ramai2 ditawarkan oleh lembaga keuangan. Dalam dunia ekonomi bisnis ini adalah  hal yang lumrah. Banyak yang memanfaatkannya untuk modal usaha, mengembangkan usaha maupun untuk kepemilikan rumah. Tetapi sayangnya banyak yang masih awam dengan unsur hukum dalam proses pengambilan kredit.

Biasanya untuk jumlah pengambilan kredit tertentu (nilai nominal besar), pihak lembaga keuangan akan meminta perjanjian kredit dan atau perjanjian penanggungannya dibuat dengan akta notariil.  Debitur (maupun penjamin) pun diminta untuk datang ke kantor Notaris/PPAT yang menjadi rekanan lembaga keuangan tersebut. Yang banyak terjadi adalah para debitur serta masyarakat banyak yang tidak paham perbuatan hukum apa saja yang akan mereka lakukan dalam proses pengambilan kredit tersebut dan bahkan setelah penandatanganan pun mereka masih tidak paham apa saja yang telah mereka tandatangani. (ini terbukti pada kakak saya :), serta sebagian besar klien yang datang ke kantor).

Kalau sebelum penandatanganan mereka belum paham, adalah hal yang lumrah, walaupun akan lebih baik jika sebelumnya sudah prepare dengan apa-apa yang akan mereka lakukan. Tetapi kalau sampai setelah penandatangan pun masih belum paham dengan perbuatan hukum yang telah mereka lakukan, maka bukan lagi hal yang lumrah. Adalah tugas Notaris untuk menjelaskan kepada siapa pun yang menghadap kepadanya mengenai perbuatan hukum yang akan mereka lakukan serta implikasinya. Ini untuk menghindari adanya masalah diwaktu mendatang.

Dengan demikian membuat para pihak memahami perbuatan serta akibat hukum setiap act yg mereka perbuat merupakan hal mendasar. Namun tidak bisa dipungkiri (dan sangat disayangkan) ada rekan Notaris yang karena beberapa alasan tidak melakukan fungsi penyuluhan hukum ini.

OKI dalam kesempatan ini, mencoba sedikit sharing mengenai apa2 saja perbuatan hukum yang biasanya dibuat dalam proses pengambilan kredit.

Biasanya ada beberapa perjanjian yang ditandatangani, antara lain:

1. Perjanjian Kredit;

2. Pengakuan Hutang;

3. Akta Pembebanan Hak Tanggungan.

ad.1. Perjanjian Kredit

 Pada setiap lembaga keuangan dapat terjadi perbedaan pemberian nama/judul perjanjian kredit. Ada yang menyebut Surat Persetujuan Kredit dan lain sebagainya, namun umumnya yang digunakan adalah Perjanjian Kredit. Setiap lembaga keuangan juga memiliki kebijaksanaan yang berbeda apakah Perjanjian Kredit (PK) dibuat dengan akta Notariil atau cukup dibawah tangan.

PK  dibawah tangan biasanya dibuat oleh pihak Bank (kreditur) dalam bentuk perjanjian baku. Jadi PK tersebut  tidak dapat diubah2 isinya (take it or leave it agreement) dan dibuat dalam jumlah banyak (massal) yang dimaksudkan untuk efisiensi bagi pihak Bank. PK ini adalah perjanjian yang pertama kali ditandatangani.  Jika PK dibuat dibawah tangan maka pihak Lembaga keuangan dan Debitur cukup tanda tangan di tempat lembaga keuangan atau di rumah debitur atau di kantor Notaris tetapi tidak di depan Notaris.

Inti dari PK adalah bahwa Debitur berjanji untuk meminjam sejumlah uang pada Kreditur dan kreditur berjanji untuk memberikan pinjaman sejumlah uang pada Debitur.  Dalam PK ini diatur dan disepakati jumlah pinjaman, besar bunga, biaya administrasi, jangka waktu, besar angsuran, tanggal pembayaran setiap bulannya dan tanggal jatuh tempo.

ad. 2. Pengakuan Hutang

Pengakuan Hutang umumnya selalu dibuat dalam bentuk akta notariil, oleh karena itu pembuatannya dilakukan oleh Notaris berdasarkan kesepakatan para pihak dan penandatanganan pun dilakukan dihadapan Notaris. Dasar dari pembuatan Akta Pengakuan Hutang (PH) adalah PK. Inti dari Pengakuan Hutang ini adalah bahwa Debitur mengakui telah berhutang sejumlah uang pada Kreditur sebagaimana yang telah diperjanjikan dalam PK dan Kreditur menerima baik pengakuan hutang tersebut.

ad.3. Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT)

Setelah PK dan PH ditandatangani maka selanjutnya adalah penandatanganan APHT. Yang menandatangani APHT adalah Pihak Pemilik Jaminan dengan pihak Kreditur. Jika Yang berhutang (Debitur) menjaminkan tanah miliknya sendiri maka Pihak pertama adalah Debitur itu sendiri sebagai pemilik jaminan. Namun jika Jaminan bukan atas nama (bukan milik) Debitur maka yang menandatangani adalah si pemilik jaminan. Jadi inti dari APHT adalah bahwa pemegang hak (pemilik sertifikat tanah) membebankan Hak Tanggungan (menjaminkan) tanahnya untuk menjamin pelunasan sejumlah hutang Debitur kepada kreditur.

Jika Sertifikat yang hendak dijaminkan masih dalam proses pengurusan di Badan Pertanahan, baik balik nama maupun peningkatan hak, maka sebelum dibuat APHT akan dibuat SKMHT (Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan) terlebih dahulu.

Dalam SKMHT ini intinya pemilik Setifikat (pemegang hak) memberi kuasa kepada pihak Kreditur untuk membebankan Hak tanggungan diatas Hak Atas Tanah-nya (menjaminkan  tanahnya) . Dengan demikian ketika proses di BPN telah selesai maka pemilik jaminan tidak perlu lagi menandatangani APHT karena telah memberikan kuasa pada kreditur sehingga kreditur yang akan bertindak berdasarkan Kuasa dari pemilik jaminan sebagaimana dinyatakan dalam SKMHT.

Lain lagi jika kredit berupa kredit kepemilikan rumah (KPR), maka sebelum menandatangani APHT terlebih dahulu transaksi jual beli dilakukan dengan menandatngani Akta Jual Beli, sebab yang menjadi jaminan dlam KPR adalah rumah yang baru saja dibeli. Jadi, Pihak Bank memberi pinjaman pada Debitur untuk membayar harga rumah tersebut dan debitur mengangsur pinjaman tersebut pada bank dengan jaminan rumah yang dibelinya.

Setelah perjanjian dan Akta2 ditandatngani, Notaris akan mengeluarkan covernote yang merupakan “surat sakti” yang menjadi dasar/pegangan bank untuk mencairkan kredit si Debitur. inti dari covernote adalah bahwa Notaris memberi keterangan bahwa antara Debitur dan Bank telah dilakukan penandatangan akta2 tersebut dan proses penyelesaian akta berikut pendaftarannya di BPN sedang berjalan dan akan selesai dalam waktu tertentu yang secepatnya akan diserahkan pada pihak bank selaku kreditur. Dengan demikian pencairan kredit tidak perlu menunggu semua proses pembuatan akta dan pendaftarannya selesai tetapi cukup dengan jaminan covernote yg dibuat Notaris.

Demikian, semoga bermanfaat.